Digitalisasi Pertanian dan Masalahnya

Pembahasan saya kali ini ditujukan kepada Kementerian Pertanian yang menurut Peraturan Menteri Pertanian No. 43 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian, BAB II Pasal tentang Susunan Organisasi  memiliki 9 Direktorat Jenderal, 4 Badan, 5 Bidang Staf ahli, dan posisi-posisi lainya. Seperti yang kita tahu, bahwa digitalisasi sudah merambah ke sistem Pemerintahan Republik Indonesia, termasuk di Kementerian Pertanian. Kementerian yang pada periode 2019 sampai 2024 di nahkodai oleh Dr. Ir. Syahrul Yasin Limpo, S.H., M.H. ini juga tengah sibuk dalam membuat aplikasi guna menyajikan kemudahan bagi para pelaku usaha dibidang pertanian kompleks. Beberapa aplikasi yang telah dihasilkan dibawah naungan Kementerian ini diantaranya yaitu :

Beberapa Aplikasi Android yang telah dibuat dibawah Kementerian Pertanian Republik Indonesia
Aplikasi-aplikasi tersebut memang ditujukan kepada para petani dan peternak baik praktisi maupun akademisi yang dibuat guna memutus rantai panjang antar para praktisi dari segala aktivitas yang terkait dengan urusan hulu hingga hilir seperti mempertemukan produsen dengan tenaga ahli dibawah kementerian dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan. Jadi, aplikasi tersebut mempunyai kesamaan user dengan perbedaan yang hanya terletak pada fungsi dari masing-masing aplikasi.

Apabila kita gali lebih jauh, aplikasi tersebut memiliki sisi negatif yaitu kuranya sinergi antar aplikasi dalam memberikan kemudahan yang berdampak pada kurangnya efektifitas penggunaan aplikasi tersebut. Meskipun di bawah kementerian yang sama, aplikasi tersebut memiliki developer yang berbeda-beda. Mayoritas dari developer tersebut berasal dari masing-masing Balai atau Badan yang ada dibawah Direktorat Jenderal.

Masalah lain yang timbul terletak pada kuantitas aplikasi yang cukup banyak di satu sektor yang sama. Seperti yang kita tahu bahwa aktivitas pertanian peternakan merupakan suatu aktivitas yang tidak dapat dipisahkan di Indonesia. Hal ini didasarkan pada kebiasaan para petani yang juga memelihara ternak sebagai sambilan ataupun kebiasaan para peternak yang juga bertani. Apabila mereka ingin mendapatkan kemudahan akses pertanian-peternakan dan akses-akses lain yang mendukung aktivitas bertani mereka maka akan banyak aplikasi yang akan terinstall di handphone mereka dan akan terus bertambah jumlahnya. Hal ini akan menyulitkan baik pengguna maupun penggunaan aplikasi tersebut. Alangkah lebih baik jika aplikasi tersebut digabungkan menjadi satu aplikasi dengan berbagai kemudahan akses yang dapat terintegrasi satu dengan yang lainya.

Sebagai tambahan, kurangnya animo masyarakat dalam menggunakan aplikasi tersebut juga perlu dicermati. Sebagai contoh aplikasi Toko Tani Indonesia dari segi Rating jauh tertinggal dari aplikasi e-commerce sejenis yang dikelola oleh swasta. Berangkat dari hal itu munculah keraguan dari para produsen untuk memasarkan komoditas daganganya di aplikasi jual beli milik pemerintah tersebut. Saran yang dapat diberikan untuk kasus ini yaitu agar para developer selain membuat aplikasi juga dapat menggunakan digital analysis guna meningkatkan performa aplikasi dan menarik masa untuk menggunakan aplikasi tersebut.

Kesimpulan dari tulisan ini yaitu diperlukanya penataan ulang dari aplikasi-aplikasi bidang pertanian yang ada sehingga lebih ramping dari segi kuantitas dan memiliki integrasi satu dengan lainya.