Globalisasi dan Komersialisasi Label Halal


Sebelum membahas mengenai halal, tentu kita harus tahu dulu definisi halal dan bagaimana konsep halal diaplikasikan pada sektor peternakan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "Halal" merupakan adjektiva yang mempunyai arti "diijinkan (tidak dilarang oleh syarak)" dan "(yang diperoleh atau diperbuat dengan) sah". Pendapat lain dikutip dari laman halalmuibali.or.id menyatakan bahwa halal artinya dibenarkan.

Dikutip dari Supplychainindonesia.com, suatu produk peternakan disebut produk halal bila sesuai dengan syariat islam yang mempunyai tiga kriteria :

1. Halal Zat-nya : Produk yang dasarnya halal untuk dikonsumsi, dan telah ditetapkan kehalalnya oleh Al-Qur'an dan Hadits.

2. Halal Cara Memperolehnya : Produk yang diperoleh dengan cara yang baik dan sah. Produk akan menjadi haram apabila cara memperolehnya dengan jalan yang batil karena itu bisa merugikan orang lain dan dilarang oleh syariat.

3. Halal Cara Pengolahannya : Produk yang semula halal dan akan menjadi haram apabila cara pengolahannya tidak sesuai dengan syariat agama. Banyak sekali produk yang asalnya halal, tetapi karena pengolahannya yang tidak benar menyebabkan makanan itu menjadi haram.

Bersamaan dengan istilah halal, terdapat istilah lain yaitu Thayyib. Thayyib berarti setiap produk yang halal seharusnya sehat, aman, bernutrisi, tidak beracun, tidak memabukan atau berbahaya bagi kesehatan. Aspek thayyib juga menuntut semua pemangku kepentingan dalam Halal supply chain untuk terlibat dalam praktik perdagangan yang adil, praktik usaha yang etis, peternakan yang manusiawi (tidak melanggar animal welfare) dan berkelanjutan serta memiliki nilai tanggung jawab sosial di dalam perusahaanya.

Menurut Ahi dan Searcy (2013), ada tujuh karakteristik kunci/fokus dari manajemen rantai pasok konvensional (Conventional Supply Chain) yaitu aliran, koordinasi, pemangku kepentingan, hubungan, nilai, efisiensi, dan kinerja. Sedangkan rantai pasok halal (Halal Supply Chainmenambahkan tiga fokus dalam rantai pasok konvensional yaitu fokus halal, thayyib, dan fokus "Farm to Fork" yang berarti bahwa setiap aktivitas dalam rantai pasok halal seperti pengadaan, penanganan, pemrosesan, penyimpanan bahan, dan transportasi/distribusi sampai ke tingkat pengecer perlu dilakukan dan di dokumentasikan dengan baik sesuai standar halal yang telah di tetapkan. Selain itu, hal-hal lain seperti aliran produk, modal, informasi dalam konteks rantai pasok halal juga harus mematuhi persyaratan. Manajemen rantai pasok halal membutuhkan koordinasi dan kolaborasi yang strategis antar pemangku kepentingan untuk menjamin integritas halal sampai kepada konsumen.

Soon (2017) mendefinisikan integritas halal sebagai jaminan makanan yang aman (murni), berkualitas (baik) dan bebas dari malpraktik dari “farm to fork”. Definisi ini menjadi bukti bahwa manajemen dan jaminan integritas halal merangkum keseluruhan rantai pasok (supply chain) dan merupakan pendekatan yang komprehensif dan multidisiplin. Beberapa peneliti berpendapat bahwa manajemen logistik merupakan inti dari Halal Supply chain management dan memainkan peran penting dalam menjaminan integritas halal pada makanan melalui manajemen transportasi, penanganan dan penyimpanan yang tepat sampai ke tujuan.

Selama ini terdapat kesalahan konsep mengenai halal dimana produk pangan yang halal adalah produk yang bebas alkohol, tidak mengandung babi atau turunannya dan telah disembelih. Namun konsep ini diperluas persyaratanya sehingga mencakup setiap lini kehidupan.

Gambar 1. Ilustrasi Rantai Pasok Produk-produk Peternakan Dari Hulu ke Hilir

Halal supply chain dimulai dari peternakan dan rumah potong hewan (RPH) yang kemudian diangkut dan disimpan sebagai produk peternakan sebelum sampai kepada konsumen. Rantai ini menjamin bahwa nilai halal tidak hanya diterapkan pada produk atau makananya saja namun juga termasuk segala aktivitas dalam rantai pasok yang meliputi penanganan dan pengaturan produk.

Berdasarkan diagram alir tersebut terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan penekanan dalam rantai pasok halal, yaitu: 

Pakan Ternak : Pakan ternak yang halal sangat penting dalam rantai pasok halal. Salah satu dari tujuh persyaratan dasar penyediaan makanan yang halal yaitu sumber pakan yang halal untuk ternak. Segala hal yang diberikan untuk ternak harus halal, tidak mengandung hormon, enzim, atau organisme hasil modifikasi genetik yang berasal dari hewan non-halal meskipun dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan.

Proses pemotongan hewan : Proses pemotongan yang tepat berarti bahwa proses pemotongan tersebut dilakukan secara tepat sesuai dengan syariat islam. Persyaratan dalam proses pemotongan hewan harus mengacu pada nilai syariah yang meliputi tukang potong yang harus muslim, pisau potong yang tajam, membaca basmallah juga termasuk komitmen pemilik RPH dalam menjaga kualitas dan kebersihan RPH.

Pemisahan produk : Pemisahan ini dapat diklasifikasikan berdasarkan penanganan, pengemasan, pengangkutan dan penyimpanan. Produk harus terpisah antara halal dan non-halal sehingga mencegah kontaminasi antar produk. Selain itu, penanganan produk makanan halal harus bersih dan aman untuk dikonsumsi oleh konsumen. Sebagai contoh forklift yang digunakan untuk membawa produk halal seharusnya tidak dipakai untuk membawa produk non-halal untuk menghindari kontaminasi, kemasan harus terbuat dari bahan yang halal dan harus memuat informasi produk seperti nama, logo halal, ukuran dll. 

Proses Logistik : Selama proses logistik, pemisahan produk halal dan non halal harus tetap dilakukan. Jika produk disimpan dalam ruangan dingin makan produk non-halal harus dipisahkan atau diletakan diruang yang tepisah. Meskipun temperaturnya terjaga dan tidak ada kemungkinan untuk mengontaminasi satu sama lain, namun produk halal dan non halal tidak boleh disimpan diruang pendingin yang sama.

Saat ini, halal telah menjadi gaya bisnis yang modern. Halal mensyaratkan bahwa setiap perusahaan yang memproduksi atau memperdagangkan barang halal perlu memastikan integritas halal yang merupakan keseluruhan kompeks yang menyangkut pengadaan, produksi, pengemasan, pelabelan, logistic, ritel & konsumsi barang dan jasa. Jaminan integritas halal sampai pada konsumen akhir merupakan sebuah masalah serius yang menjadi perhatian konsumen. Pemalsuan, penggantian dan penipuan tentunya menjadi ancaman bagi integrasi produk-produk halal yang biasanya dilakukan untuk meningkatkan keuntungan perusahaan/pabrik.

Bagaimana halal bisa menjadi nilai berharga pada produk peternakan di Indonesia?
Berdasarkan survei penduduk antar sensus (suspas) 2015, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2019 diproyeksikan mencapai 266.91 juta jiwa. Sebagai negara dengan populasi penduduk muslim terbesar di dunia, penduduk muslim Indonesia diprediksi akan bertambah menjadi 263.92 juta jiwa di tahun 2020 dan meningkat menjadi 256.82 juta jiwa pada tahun 2050. Dengan populasi penduduk muslim di dunia yang mencapai 1.9 triliun dan seiring dengan terus bertambahnya penduduk muslim di Indonesia, kebutuhan akan produk-produk peternakan halal juga semakin meningkat.

Halal merupakan syarat utama dan menjadi suatu kewajiban bagi konsumen muslim dalam mengkonsumsi produk pangan. Namun, pemasaran label halal ini tidak hanya berlaku pada penduduk muslim saja. Kesadaran akan perlunya mengonsumsi makanan halal dapat tumbuh atau ditumbuhkan pada penduduk non-muslim. Sistem jaminan halal memastikan bahwa produk yang dikonsumsi lebih terjaga dan terstandarisasi sebagai produk yang aman, higienis, berkualitas, sehat dan juga menjadi jaminan bahwa makanan tersebut benar-benar layak dikonsumsi dari segala sisi termasuk kandungan di dalamnya. 

Di tahun 2010, pasar untuk produk makanan halal mencapai 16 persen dari perdagangan pangan dunia dengan nilai yang diperkirakan mencapai US $ 547 Miliar. Terbukanya pasar halal memberi peluang menjanjikan bagi bisnis makanan halal yang akan berdampak besar kepada peningkatkan pendapatan negara. Peluang pasar ini bahkan sudah dibaca secara jeli oleh beberapa negara seperti Argentina, Canada, Brazil, New Zealand, France dan Australia. Dengan jumlah penduduk muslimnya yang sangat minor, negara-negara tersebut mampu memproses dan mengekspor daging halal yang diperuntukan bagi negara-negara anggota Organization Islamic Committee (OIC).

Di Negara tetangga kita, Malaysia, dukungan penuh dari pemerintah Malaysia telah melahirkan Halal Development Corporation (HDC). HDC merupakan salah satu lembaga yang didirikan dibawah Kementerian Perdagangan dan Industri Internasional (MITI) yang berperan untuk mengembangkan kesadaran dan pemahaman akan konsep halal. Pengembangan produk halal telah didorong lebih lanjut melalui penetapan daerah-daerah tertentu sebagai pusat halal. Dalam menyediakan jaminan pakan ternak yang halal, berbagai prosedur telah dikeanlkan oleh Departement of Veterinary Services (DVS) seperti Livestock Farm Accreditation Scheme (SALT) yang mengacu pada Good Animal Husbandry Practices (GAHP), Good Manufacturing Practice (GMP) serta Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) sehingga produsen dapat menyediakan, memastikan, dan menjaga kualitas pasokan dan produksi makanan yang halal sebagai bentuk usaha dalam menjadikan Malaysia sebagai Pusat Halal Dunia (Global Halal Hub).

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Dengan tujuan yang sama menjadi yaitu Pusat Halal Dunia, ditambah Swasembada Daging 2026 dan cita-cita menjadi Lumbung Pangan Dunia di tahun 2045. Sudah sampai manakah progresnya?

Sebagai gambaran, mulai 17 Oktober 2019 lalu Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) mulai berlaku. Namun, dalam undang-undang tersebut terdapat perubahan otoritas lembaga yang mengeluarkan sertifikasi halal yang sebelumnya dipegang oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dibawah Kementerian Agama. Undang-undang ini sih kabarnya di gugat oleh LPPOM MUI ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Referensi :
[1] Pengertian Halal dan Haram Menurut Ajaran Islam (I)
[2] Supplychainindonesia : Jalan Panjang Logistik Halal di Indonesia (PDF)