Fenomena Kelangkaan Pupuk Bersubsidi dan Peluang Alternatif Pupuk Organik

 

Pembangunan pertanian menempatkan para petani sebagai subjek dalam tercapainya tujuan pembangunan nasional. Melaui upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat petani, diharapkan berdampak pada kemandirian ekonomi para petani. Pemerintah sebagai stakeholder pembangunan tersebut telah memberikan kemudahan pada para pelaku  usahatani  berupa bantuan input produksi bersubsidi.

Pupuk bersubsidi merupakan langkah pemerintah dalam melancarkan produksi usahatani. Keberadaan pupuk sangat mempengaruhi hasil produksi tanaman budidaya, sehingga dalam ketersediannya perlu terjadi kontinuitas. Selain itu, pentingnya pupuk bersubsidi pada para petani di Indonesia juga didasari oleh  harga pupuk dunia yang cenderung meningkat dan laba usahatani yang cenderung fluktuatif[1].

Program pemerintah mengenai pupuk bersubsidi telah diatur dalam Keputusan Menperindag No. 70/MPP/Kep/2/2003 pasal 3 memutuskan bahwa terdapat empat pupuk bersubsidi diantaranya yaitu Urea, ZA, SP-36 dan NPK yang keempatnya merupakan pupuk kimia atau pupuk anorganik. Meskipun adanya kebijakan tersebut masih sering ditemukan beberapa daerah yang mengalami fenomena kelangkaan pupuk bersubsidi.

Apa saja penyebab permasalahan dari fenomena tersebut?

Sistem regulasi distribusi yang kurang efektif dan efisien menjadi indikator fenomena kelangkaan pupuk bersubsidi. Studi kasus pada Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah adanya penyelewengan alur distribusi yang ditetapkan pemerintah, yaitu tidak adanya database resmi daerah terhadap kebutuhan pupuk yang dibutuhkan petani dan terdapat pengecer yang berani menjualnya tidak pada kelompok tani, sehingga beberapa petani membelinya pada pedagang bukan kelompok tani[2].  Hal tersebut juga menyebabkan pupuk bersubsidi yang ditawarkan memiliki harga relatif tinggi.

Sebagian besar daerah juga mengatakan bahwasanya pendistribusian pupuk bersubsidi masih kurang tepat sasaran[3]. Beberapa kalangan menyimpulkan bahwa terjadi kelemahan pengawasan terhadap alur distribusi dan kurang dikritisi oleh banyak pihak. Bahkan para petani seringkali mengalami kekurangan pupuk hingga memasuki masa tanam.

Fenomena kelangkaan pupuk  yang mempengaruhi proses budidaya tanaman oleh para petani memicu munculnya argumentasi masyarakat dan para akademisi. Sebagian besar berpendapat bahwa sudah saatnya petani melirik pupuk organik yang dapat diproduksi secara individu atau melalui pemberdayaan masyarakat. Akan tetapi muncul banyak pertanyaan, seperti seberapa efisien penggunaan pupuk organik dengan melihat latar belakang para petani Indonesia yang sejak masa revolusi hijau lahan budidayanya sangat bergantung pada pupuk kimia.

Lantas seberapa besar peluang penggunaan pupuk organik?

Pupuk organik sebagai alternatif terbatasnya pupuk kimia memang memiliki dampak baik bagi tanah, yaitu akan mengembalikan kandungan bahan organik dalam tanah secara berimbang. Peluang pupuk organik di luar negeri sangat diperhatikan, seperti halnya penerapan kebijakan batas penggunaan pupuk kimia sebesar 50% pada negara Eropa dan Australia[4]. Kemudian 50% lainnya dioptimalisasikan pada penggunaan pupuk organik.

Penggunaan pupuk organik bersamaan dengan pupuk kimia sangat dibutuhkan untuk menjaga kesehatan tanah dan tingkat produksi tanaman[5]. Pupuk organik sebagai penyumbang unsur hara mikro dapat menjaga ketersediaan bahan organik dalam tanah. Sedangkan pupuk kimia hanya menyediakan unsur hara makro yang berperan pada pertumbuhan tanaman. Apabila penggunaan pupuk organik dengan persentase 100% akan berdampak buruk bagi tingkat hasil produksi tanaman.

Pada sebuah penelitian hasil usahatani jagung menyatakan bahwa penggunaan pupuk kimia sebesar 50% dengan 5 ton/ha pupuk kandang (organik) yang telah dikomposkan berdampak baik bagi kesehatan tanah dan hasil produksi tanaman[6]. Selain mampu meminimalisir terjadinya degradasi tanah dan pencemaran lingkungan juga dapat mengurangi ketergantungan pupuk kimia oleh para petani. Dampak besarnya dari penggunaan pupuk organik secara bertahap akan membantu mencapai Sustainable Agriculture di Indonesia.

Referensi:

[1] Kudrati, D., L. Kusmiati, A. 2010. Faktor-Faktor yang Berpengaruh dalam Kelangkaan Pupuk Bersubsidi. J-SEP 4(1): 63-80 (Lihat)
[2] Nugroho, A., D. Siregar, A., P. Andannari E. Shafiyudin, Y. Christie, J., I. 2018. Distribusi Pupuk Bersubsidi di Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian 2(1): 70-82 (Lihat)
[3] Darwis, V. Supriyati. 2014. Subsidi Pupuk : Kebijakan, Pelaksanaan dan Optimalisasi Pemanfaatannya. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian 11(1): 45-60 (Lihat)
[4] Suwahyono, U. 2011. Petunjuk Praktis Penggunaan Pupuk Organik secara Efisien. Jakarta, ID: Penebar Swadaya. 
[5] Lingga, P. Marsono. 2008. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Jakarta, ID: Penebar Swadaya
[6] Sulaeman, Y. Maswar, Erfandi, D. 2017. Pengaruh Kombinasi Pupuk Organik dan Anorganik terhadap Sifat Kimia Tanah dan Hasil Tanaman Jagung di Lahan Kering Masam. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 20(1): 1-12 (Lihat)