Pada 3 Februari 2020 lalu, Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo menandatangani Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian. Keputusan tersebut menyebutkan bahwa ganja masuk ke dalam kelompok tanaman obat bersama dengan 65 tanaman obat lainnya. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura mengatur budidaya jenis tanaman hortikultura, termasuk tanaman obat. Pasal 67 poin 1 dalam UU tersebut menyebutkan bahwa "Budidaya jenis tanaman hortikultura yang merugikan kesehatan masyarakt dapat dilakukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau ilmu pengetahuan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang." Pasal tersebut dilanjutkan dengan poin 2 yang berbunyi "Budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin khusus dari menteri."
Di sisi lain, UU Nomor 35 Tahun 2009 menggolongkan ganja ke dalam narkotika golongan I. UU Nomor 35 tentang Narkotika melarang konsumsi, produksi, hingga distribusi narkotika golongan I. Setiap orang yang memproduksi atau mendistribusikan narkotika golongan I diancam hukuman pidana penjara maksimal seumur hidup atau hukuman mati. Sementara itu, bagi penyalahgunaan narkotika golongan I diancam pidana paling lama 4 tahun.
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 104 yang menjadikan ganja sebagai tanaman obat dapat menjadi peluang petani untuk membudidayakan ganja dalam pengawasan ketat dan mendapatkan izin pemerintah bagi kepentingan medis dan penelitian. Namun kenyataannya, belum ada petani legal dan menjadi binaan Kementan sampai saat ini. Belum lagi baru-baru ini, Keputusan Menteri Nomor 104 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian dicabut sementara untuk dikaji ulang dan direvisi bersama pihak-pihak terkait seperti Badan Narkotika Nasional (BNN), Kementerian Kesehatan, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)[1].
Di kutip dari The Motley Fool [2], ada lebih dari 40 negara di dunia yang sudah melegalkan ganja untuk kepentingan medis, dua di antaranya yaitu Kanada dan Uruguay bahkan melegalkan ganja untuk kepentingan medis maupun rekreasi. Beberapa negara bagian di Amerika juga telah melegalkan ganja untuk kepentingan medis.
Dalam proses legalisasi ganja, banyak perdebatan yang terjadi untuk mendukung manfaat tanaman ganja dan cannabinoids. Cannabinoids merupakan kandungan bahan kimia seperti tetrahydrocannabinol (THC) dan cannabidiol (CBD) yang ada di dalam tanaman ganja. Dalam formulasi tertentu, efek THC dalam ganja dapat dibuktikan secara medis. The U.S. Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui pengobatan berbasis THC. Dalam pengobatan tersebut, ganja dijadikan obat untuk mengatasi mual pada pasien kemoterapi kanker dan untuk merangsang nafsu makan pada pasien AIDS yang mengalami wasting syndrom[3].
Diberitakan dari Forbes [4], sejumlah peneliti dari University of Nebraska dan Texas Biomedical Research Institute merekomendasikan lebih banyak penelitian mengenai bagaimana CBD dapat membantu mengobati peradangan paru-paru dari Covid-19. Penelitian tersebut didasari dari penelitian sebelumnya yang telah membuktikan bahwa CBD dapat mengurangi radang paru-paru. Penulis artikel yang meneliti tentang topik tersebut juga menyebutkan bahwa CBD kemungkinan memiliki manfaat untuk pengelolaan kecemasan dan pengelolaan stress dalam menghadapi Covid-19. Namun, eksperimen langsung perlu dilakukan untuk membuktikan teori ini.
Bukan hanya manfaat, ganja juga memiliki efek samping yang legalisasinya harus dipertimbangkan. Kadar THC yang tinggi dalam ganja dapat menimbulkan efek yang memabukkan. Orang yang mengonsumsi terlalu banyak ganja dapat mengalami kecemasan, ketidakpercayaan, ketakutan, atau panik. Bahkan penggunaan jangka panjang dapat meningkatkan risiko penyakit kejiwaan dan kecanduan.
Oleh karena itu, legalisasi budidaya ganja memerlukan regulasi yang tepat dari pemerintah agar penggunaannya tidak disalahgunakan. Jika regulasi sudah ditetapkan, ada kemungkinan Indonesia memiliki potensi mengekspor ganja sebagai komoditas pertanian untuk kepentingan medis. Penelitian yang dilakukan juga akan membuka jendela pengetahuan baru.
Referensi:
[1] Idris, M. 2020. Kementan Jelaskan Aturan Budidaya Ganja Jadi Tanaman Obat. Diambil dari Kompas.com Edisi 30 Agustus 2020 (Lihat)
[2] Speights, K. 2020. Marijuana Legalization Around the World. Diambil dari The Montley Fool Edisi 12 Agustus 2020 (Lihat)
[3] NIDA. 2020. Marijuana Research Report. Diambil dari National Institute of Drugs Abuse Edisi 30 Agustus 2020 (Lihat)
[4] Earlenbaugh, E. 2020. Cannabis May Reduce Deadly Covid-19 Ling Inflammation: Researcher Explain Why. Diambil dari Forbes Edisi 6 Juli 2020 (Lihat)