Blue economy adalah pemanfaatan berkelanjutan sumber daya laut untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan mata pencaharian dan pekerjaan, dan kesehatan ekosistem laut. Konsep ekonomi biru bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan keadilan sosial, sekaligus secara signifikan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis. Salah satu yang bisa di lakukan untuk mendukung Blue Economy adalah pemanfaatan Rumput Laut.
Indonesia adalah negara yang diuntungkan karena diapit dua samudera besar, yakni Hindia dan Pasifik, Juga menjadi bagian dari segi tiga karang (Coral Triangle) dunia. Dengan posisi strategis itu, potensi sumber daya rumput laut yang ada di wilayah perairan Indonesia menjadi sangat besar, Indonesia memiliki setidaknya 550 jenis varian rumput laut bernilai ekonomis tinggi. Termasuk, salah satunya adalah jenis rumput laut bernilai tinggi, Eucheuma cottoni yang diperkirakan nilai total potensinya di Indonesia mencapai US10 miliar per tahun. Saat
ini potensi lahan untuk budidaya rumput laut
di Indonesia sekitar 1,2 juta ha, namun baru
termanfaatkan sebanyak 26.700 ha (2,2%)
dengan total produksi sebesar 410.570 ton
basah. Sebagian kecil jenis rumput laut memang telah
dikembangkan secara massal tetapi sebagian besar belum
mendapat perhatian[1].
Hingga saat ini produksi terbesar rumput laut di Indonesia hampir seluruhnya didukung oleh
kegiatan budidaya. Berdasarkan data Kementerian Kelautan
dan Perikanan, bahwa sekitar 99,73% produksi rumput laut
Indonesia berasal dari hasil budidaya. Hal tersebut dapat
terjadi karena potensi alam laut sangat mendukung sehingga
hampir dapat dilakukan di seluruh wilayah Indonesia. keunggulan budidaya rumput
laut antara lain adalah banyak menyerap tenaga kerja. Aktivitas
ekonomi seperti bertani, bertambak, menangkap ikan yang
awalnya merupakan mata pencaharian utama telah bergeser
menjadi pekerjaan sampingan (Secondary Source of Income).
Penyerapan tenaga kerja usaha budidaya rumput laut juga tidak
memandang perbedaan gender dan umur. Sekitar 75%-80% dari
urutan dan beban pekerjaan yang berkaitan dengan budidaya
rumput laut dilakukan secara merata oleh kaum pria dan
wanita. Hal yang mendasari distribusi pekerjaan yang merata
adalah ketersediaan tenaga kerja yang memadai, pekerjaan
mudah dilakukan oleh siapa saja, nilai rupiah yang didapatkan
relatif besar, tidak adanya pandangan yang membedakan peran
perempuan dan laki-laki[2].
Berbagai negara tujuan ekspor rumput laut dari indonesia, Pada tahun 2017 negara Tiongkok menjadi negara komiditi ekspor No. 1 sebanyak 149 ton. Selain ke Tingkok negara tujuan ekspor langganan lainnya adalah USA, Korea Selatan, Vietnam, dan Chile. Di beberapa negara, Rumput laut tidak lepas dari keseharian konsumsi mereka. Di olah menjadi makanan, minuman, kosmetik, dll. Dari sisi nutrisi dan kandungan senyawa, rumput laut memiliki nutrisi yang bermanfaat bagi kesehatan, bahkan beberapa padahal jenis rumput laut tersebut telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber makanan beberapa jenis rumput laut memiliki kandungan senyawa yang berfungsi menurunkan tekanan darah, senyawa antioksidan dan lain sebagainya. Besarnya manfaat rumput laut bagi kesehatan serta sebagai salah satu alternatif sumber pangan tidak sebanding dengan usaha pengembangannya[3].
Keberhasilan produksi rumput laut dapat dicapai dengan mengoptimalkan faktor-faktor pendukung dalam budidaya laut. Faktor-faktor pendukung tersebut antara lain pemilihan lokasi budidaya yang tepat, penggunaan jenis yang bermutu baik, teknik atau metode budidaya yang tepat, serta panen dan pasca panen.
Referensi
[1] Ghazali, M., & Nurhayati, N. 2019. Peluang dan Tantangan Pengembangan Makroalga Non Budidaya sebagai Bahan Pangan di Pulau Lombok. Jurnal Agrotek Ummat, 5(2): 135-140 (Lihat)
[2] Priono, B. 2016. Budidaya rumput laut dalam upaya peningkatan Industrialisasi perikanan. Media Akuakultur, 8(1): 1-8 (Lihat)
[3] Serdiati, N., & Widiastuti, I. M. 2010. Pertumbuhan dan produksi rumput laut Eucheuma cottonii pada kedalaman penanaman yang berbeda. Media Litbang Sulteng, 3(1) (Lihat)