Willingness To Pay Organic Products

Kesehatan merupakan aspek yang paling penting dalam kehidupan masyarakat. Saat ini banyak penyakit yang muncul hal ini banyak diakibatkan oleh konsumsi makanan masyarakat yang tidak sehat. Banyak masyarakat sekarang ini yang beralih ke pola hidup sehat karena tidak ingin terserang penyakit. Untuk menjaga kesehatan biasanya masyarakat mengkonsumsi buah dan sayur, namun saat ini banyak produk pertanian yang menggunakan pestisida dan bahan kimia lainnya. Bahan kimia ini tidak baik untuk kesehatan manusia dan juga mencemari lingkungan. 

Meningkatnya kesadaran masyarakat akan bahayanya bahan kimia. Sekarang sudah banyak beredar produk-produk yang bersifat organik. Seperti sayur oganik, beras organik, buah organik.  Produk organik ini ialah produk yang tidak mengandung bahan kimia, pestisida, dan  pengawet buatan. Produk yang layak dikatakan sebagai organik ialah yang tidak berasal dari petumbuhan tidak alami. Yayasan Lindungan Konsumen Indonesia atau YLKI (2012) menyebutkan bahwa makanan organik diproduksi dengan sedikit atau sama sekali tidak mengandung unsur-unsur kimia seperti pupuk, pestisida, hormon dan obat-obatan[1]. Semua proses produksi pangan organik dilakukan secara alami dan hendaknya memenuhi pedoman pesyaratan internasional yang telah ditetapkan, seperti tidak menggunakan bibit GMO (Genetic Modified Organism) atau produk rekayasa genetik selama proses produksi dan tidak menggunakan teknologi nirradiasi untuk mengawetkan produk

Suatu produk dapat dikatakan organik apabila[2]:

1. Pada saat proses penanamannya dilakukan tanpa menggunakan bahan kimia, fertilisisasi atau zat penumbuh (genetically modified organism)

2. Menggunakan cara bertanam dengan metode penanaman manual atau alami dan bantuan dari alam.

Walaupun tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan mulai meningkat, namun hal ini tidak membuat preferensi konsumen beralih ke produk pertanian organik. Ada factor-faktor yang meyebabkan mengapa konsumen lebih memilih produk non-organik, factor yang paling berpengaruh ialah harga, dimana harga produk pertanian organic cenderung lebih mahal dibandingkan dengan non organik.  Dalam pengambilan keputusan, harga merupakan salah satu factor yang mempengaruhi konsumen. Namun untuk sebagaian orang yang lebih memiliki kepedulian akan kesehatan dan lingkungkan, mungkin bersedia membeli lebih mahal untuk mendapatkan produk pertanian  organik dimana produk organik dianggap memiliki manfaat  lebih baik untuk kesehatan dan lingkungan. Selain harga, faktor lain yang menyebabkannya ialah susahnya mengakses tempat yang menjual produk organik. 

Harga produk pertanian organik lebih mahal disebabkan petani lebih memilih menggunakan pertanian konvensional dari pada pertanian organik. Dikarenakan pertanian organic tidak menggnunakan pestisida, pupuk kimia, dan obat-obatan lainnya, sehingga resiko gagal panen sangat tinggi. Harga komoditas organik relatif mahal dibandingkan yang non-organik dikarenakan:

  1. Biaya produksi yang mahal karena produksi rendah. Dikarenakan permintaan yang tidak tinggi, volume produksinya relative rendah sehinggan biaya produksinya tingi dan sulit bersaing dengan produk non organic.
  2. Sebagian produk organik merupakan produk impor sehinga harganya relative lebih mahal dikarenakan adanya biaya impor dan transportasi. Jika di dalam negeri dikembangkan pertanian organik maka harga dapat ditekan dan mampu bersaing. Apabila permintaan terhadap produk organik semakin banyak maka akan semakin banyak produsen lokal yang berminat untu meproduksi produk organik. 

Thio (2008) yang mengatakan bahwa salah satu kendala yang dialami ialah sulitnya mencari jenis produk yang diinginkan, terbatasnya tempat menjual makanan organic, dan kurangnya informasi terkait makanan organic. Karena biasanya produk organic dijual di ritel-ritel modern, sangat jarang ditemukan di pasar-pasar tradisional. Hal ini yangmembuat akhirnya konsumen menggunakan produk-produk non-organik selain harganya lebih murah, keberadaannya juga mudah dijangkau, dan ketersediaan produknya lebih banyak[3].

Referensi:

[1] Yayasan Lindungan Konsumen Indonesia.2012. (Lihat) 

[2] Poulston, J., dan Yiu A. Y. K. 2011. Profit or Principles: Why do restaurant serve organic food?. International Journal of Hospitality Management 30 (2011)184-191 straint, and Interventions, Elsevier Ltd (Lihat)

[3] Thio, S., Harianto, N. Y. S., dan Sosiawan, R. F. 2008. Persepsi Konsumen Terhadap Makanan Organik Di Surabaya. Jurnal Manajemen Perhotelan Vol. 4. No. 1. Hal. 18-27 (Lihat)