Bagaimana Implementasi Program Inseminasi Buatan pada Sapi Potong di Indonesia?


Meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan di Indonesia sehingga terjadi fenomena nasional yang diiringi dengan meningkatnya permintaan terhadap daging sapi. Kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi yang bersumber dari protein hewani asal ternak juga memiliki dampak terhadap permintaan daging sapi. Dampak peningkatan permintaan daging sapi tersebut menyebabkan diberlakukannya kebijakan impor daging secara Nasional. Rendahnya mutu genetik menyebabkan rendahnya produktivitas ternak sapi potong. Kondisi ini disebabkan karena adanya inbreeding dalam perkawinan alam[1]. Berdasarkan keadaan tersebut pemerintah memberikan sebuah program yaitu introduksi teknologi Inseminasi Buatan (IB) di beberapa daerah di Indonesia. 

Pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) pada ternak merupakan salah satu upaya penerapan teknologi tepat guna yang merupakan pilihan utama untuk peningkatan populasi dan mutu genetik sapi. Melalui kegiatan IB, penyebaran bibit unggul ternak sapi dapat dilakukan dengan murah, mudah, dan cepat, serta diharapkan dapat meningkatkan pendapatan para peternak. Terdapat empat faktor yang menentukan pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) pada ternak, diantaranya yaitu semen beku, ternak betina sebagai  akseptor Inseminasi Buatan (IB), inseminator, dan pengetahuan zoonosis peternak. Faktor - faktor tersebut saling berkaitan dan apabila salah satu dari keempat faktor tersebut tidak terpenuhi maka akan menyebabkan hasil Inseminasi Buatan (IB) juga akan rendah, dalam pengertian lain efisiensi produksi dan reproduksi tidak akan optimal[2]. 

Pemerintah telah meluncurkan dan mengimplementasikan berbagai kebijakan dan program yang terkait dengan pengembangan usaha ternak inseminasi buatan baik secara nasional maupun di tingkat daerah. Akan tetapi nyatanya program dan kebijakan tersebut masih belum mampu mengatasi kesenjangan antara permintaan dan penawaran, hal ini disebabkan oleh :

a. Belum semua program yang dilakukan pemerintah sampai pada peternak

b. Pengembangan usaha peternakan masih belum menjadi prioritas utama pemerintah.

c. Kebijakan intensifikasi pada lahan sawah mengurangi penggunaan tenaga kerja ternak.

d. Masih banyak ternak sapi yang dipelihara secara ekstensif.

e. Menyempitnya lahan padang penggembalaan akibat alih fungsi lahan[2].

Pemerintah memiliki peran yang besar di dalam keberhasilan program Inseminasi Buatan (IB) yaitu dalam hal regulasi dan aturan yang ditetapkan. Aturan yang ditetapkan oleh pemerintah antara lain : (a) Standart Nasional Indonesia dalam hal kualitas semen beku, (b) Inseminator harus mempunyai sertifikat inseminator yang dikeluarkan oleh lembaga yang telah ditetapkan oleh pemerintah , dan (c) Pewilayahan inseminator[3]. 

Penunjang keberhasilan program Inseminasi Buatan (IB) juga sangat ditentukan oleh perilaku peternak yang mau menerapkan adanya program IB tersebut. Kemampuan pemahaman peternak dalam penerapan program IB tersebut berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh faktor internal (karakteristik peternak) dan faktor eksternal (teknologi yang diadopsikan ke peternak).  Pengambilan keputusan peternak sangat berpengaruh terhadap keberhasilan program IB.

Selain pemerintah dan peternak sebagai pemicu keberhasilan program Inseminasi Buatan (IB), peran media massa maupun media sosial juga sangat menentukan dalan penerapan teknologi IB  pada ternak sapi, artinya semakin banyak informasi yang disampaikan lewat media tentang teknologi IB  yang ingin diterapkan pada masyarakat maka semakin berhasil pula tingkat penerimaan peternak pada IB[4].

Teknologi Inseminasi Buatan (IB) sampai saat ini sudah menyebar ke seluruh pelosok tanah air, bahkan di beberapa daerah seperti Lampung, Palembang, Banjarmasin, dan Palu telah mampu memproduksi spermatozoa segar untuk tujuan IB sehingga tidak bergantung lagi pada suplai semen beku dari Balai Inseminasi Buatan Singosari (Jawa Timur) atau Balai Inseminasi Buatan Lembang (Jawa Barat)[5].  

Dalam pelaksanaan program Inseminasi Buatan (IB) diharapkan pemerintah dan semua kalangan terkait mampu mengevaluasi pencapaian dari program IB tersebut. Pihak terkait harus menindaklanjuti kegiatan program yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, supaya tujuan dan target dari program IB dapat tercapai sesuai yang diharapkan. 

Referensi:

[1] Poli, Z., J.F. Paath., L.R. Ngangi, dan R. Ningalo. 2020. Penerapan Program Inseminasi Buatan Untuk Mendorong Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. Prosiding Seminar Teknologi dan Agribisnis Peternakan (Lihat)

[2] Ahmad, A. 2020. Persepsi Peternak Sapi Potong Terhaap Upaya Pemerintah Dalam Peningkatan Mutu Bibit Ternak Hasil Program Inseminasi Buatan di Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten Sinjai. Jurnal Agrominansia. 5(1): 74-88 (Lihat) 

[3] Susilawati, T dan A.P.A. Yekti. 2018. Teknologi Inseminasi Buatan Menggunakan Semen Cair (Liquid Semen). Malang : UB Press (Lihat)

[4] Patenda, S.Y. 2010. Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Inseminasi Buatan pada Sapi di Kecamatan Paguyaman. Saintek. 5(1): 1-6 (Lihat).

[5] Afiati, F., Herdis, dan S. Said. 2013. Pembibitan Ternak dengan Inseminasi Buatan. Cibubur:Penebar Swadaya (Lihat)