Krisis Pangan: Siapkah Indonesia Menghadapinya?


Kelaparan adalah salah satu hal yang dibahas dalam perayaan Hari Pangan Sedunia pada tanggal 16 Oktober 2020 lalu. Pandemi COVID-19 memperlihatkan rentannya sistem pertanian penghasil pangan. Sebelum adanya pandemi COVID-19, lebih dari 2 milyar orang tidak memiliki akses untuk mendapatkan makanan bergizi dan diiperkirakan sebanyak 132 juta orang akan kelaparan di tahun 2020 karena dampak dari pandemi COVID-19[1]. Organisasi Pangan dan Pertanian atau Food and Agriculture Organization (FAO) yang merupakan organisasi internasional di bawah PBB memimpin perayaan tersebut. Perayaan Hari Pangan Sedunia bersamaan dengan didirikannya FAO yang telah berusia 75 tahun. Tema yang dibawakan oleh FAO tahun ini adalah “Grow, Nourish, Sustain. Together”. Dalam acara tersbut, Viktor Mol, perwakilan FAO di Indonesia, menyatakan bahwa kita membutuhkan solusi inovatif dan dukungan dari seluruh pihak. Ia juga mengatakan bahwa pandemi ini mengingatkan banyak orang tentang pentingnya ketahanan pangan dan makanan yang bergizi[1].

FAO juga menyinggung tentang krisis pangan dunia pada publikasi “Global Report on Food Crisis” April lalu. Dalam publikasi tersebut dikatakan bahwa pandemi mengurangi ketersediaan pangan di pasar dunia dan menghambat supply chain yang mengarah pada merosotnya penjualan dan produktivitas lahan[2]. Pergerakan petani juga terhambat karena adanya regulasi social distancing yang akan membuat harga komoditas pertanian naik di tangan konsumen. Naiknya harga komoditas secara jangka pendek juga disebabkan oleh perilaku panic buying masyarakat yang ketakutan akan kehabisan makanan pada masa sulit ini.

Tidak berbeda jauh dengan dunia, Indonesia juga memiliki masalah yang hampir sama. Adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mengakibatkan distribusi pangan tidak maksimal. Pasar-pasar tradisional tutup sehingga petani kebingungan untuk menjual hasil panen mereka di mana. Tidak jarang petani dengan sengaja tidak memanen tanaman mereka karena biaya panen dan transportasi yang mereka keluarkan lebih banyak daripada pemasukan yang akan didapatkan. Konsumen di tingkat rumah tangga juga tidak memiliki banyak pilihan tempat untuk membeli bahan makanan. Tingginya angka pekerja yang terkena PHK menyebabkan berkurangnya daya beli masyarakat terhadap produk pertanian. Belum lagi kebijakan pembatasan impor mempengaruhi lonjakan harga komoditas pertanian dan ketersediaan pangan di Indonesia yang selama ini masih bergantung pada impor. Masalah-masalah tersebut mendekatkan sebagian besar masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah pada kondisi kelangkaan pangan.

Indonesia memiliki kriteria tersendiri untuk menilai suatu wilayah mengalami krisis pangan atau tidak. Kriteria tersebut tercantum dalam Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2015 yang menyatakan bahwa kriteria krisis pangan di suatu wilayah yaitu: (1) penurunan ketersediaan pangan pokok bagi sebagian besar masyarakat dalam jangka waktu tertentu, (2) lonjakan harga pangan pokok dalam jangka waktu tertentu, dan (3) penurunan konsumsi pangan pokok sebagian besar masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan sesuai norma gizi [3]. Realitanya, poin nomor dua sudah sempat terjadi. Misalnya, harga kebutuhan pokok dan bumbu seperti gula, bawang putih, dan bawang bombay mengalami kenaikan pada awal dan pertengahan masa pandemi ini. Namun, pemerintah berhasil menstabilkan kembali harga komoditas pertanian tersebut.

Pemerintah membuat beberapa rencana untuk menghindari krisis pangan. Salah satunya, pemerintah melakukan diversifikasi pangan dengan tidak hanya mengandalkan beras sebagai bahan pokok, tapi juga sagu. Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menyebutkan pengembangan sagu sebagai pangan merupakan program prioritas yang menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024[4]. Selain itu, program yang digadang pemerintah untuk menghindari krisis pangan adalah dengan membangun lumbung pangan (food estate). Food estate merupakan konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan di suatu kawasan [5]. Namun, Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 ini rupanya banyak dikritik oleh para ahli lingkungan. Pasalnya, program food estate akan membuka lahan di daerah Kalimantan Tengah yang merupakan eks lahan gambut. Lahan gambut bersifat sangat rapuh dan heterogen. Pembukaan lahan pertanian eks lahan gambut juga dapat memicu kebakaran hutan. Akan tetapi, fakta bahwa program food estate ini akan memberikan banyak manfaat, salah satunya meningkatkan nilai tambah produksi sektor pertanian lokal juga tidak boleh dilupakan.

Kita selalu dihantui dengan isu krisis pangan, bukan hanya ada pada saat pandemi saja. Risiko krisis pangan ditimbulkan oleh kemiskinan yang berawal dari pengangguran. Maka selama kemiskinan masih ada, risiko krisis pangan akan terus mengikuti. Oleh karena itu, dibutuhkan solusi serta perencanaan secara rinci dan jelas untuk menghindari masalah krisis pangan. Jika Indonesia dapat mengentaskan kemiskinan serta mencapai ketahanan dan kedaulatan pangan, krisis pangan akan menjadi masalah yang mudah diatasi.

Referensi:

[1] FAO Indonesia. 2020. World Food Day 2020: Covid 19 pandemic exposes the fragility of the food system, giving birth to food heroes. Diambil dari Food and Agriculture Organization of the United Nation Edisi 16 Oktober 2020 (Lihat)

[2] Food Security Information Network. 2020. Mobilizing for the impact of COVID-19 in food-crisis countries. Global Report on Food Crises 2020,  4-5 (Lihat)

[3] Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015

[4] CNN Indonesia. 2020. Pemerintah Andalkan Sagu Hadapi Krisis Pangan. Diambil dari CNN Indonesia Edisi 20 Oktober 2020 (Lihat)

[5] Sutrisno, Eri. 2020. Food Estate untuk Hasil Pertanian Melimpah dan Konektivitas. Diambil dari Indonesia.go.id Edisi 16 Juni 2020 (Lihat