Pestisida merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pertanian di Indonesia. Penggunaan pestisida di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1965. Pada saat itu, jenis pestisida yang banyak digunakan adalah jenis organoklorin, antara lain Dichloro Diphenyl Trichloroethane (DDT) dan lindan, sedangkan sekarang ini pestisida yang umum digunakan adalah jenis organofosfat, karbamat dan piretroid. Menurut Ichwan[1], dampak negatif dari penggunaan pestisida yang terus menerus dan berlebihan akan memunculkan potensi tertinggalnya pestisida di lingkungan dan produk pertanian atau yang lebih dikenal dengan residu pestisida. Residu pestisida ditemukan di areal tanaman pangan dan hortikultura.
Penggunaan pestisida yang makin intensif dan cenderung tidak terkontrol mengakibatkan agroekologi pertanian dan kesehatan manusia sebagai konsumen menjadi terabaikan. Pengendalian hama sebelum program Pengendalian Hama Terpadu (PHT) lebih banyak mengandalkan pestisida jenis organoklorin yang memilki toksisitas tinggi dan persistensi lama dalam tanah sehingga berpotensi mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia. Meskipun perlindungan tanaman dengan sistem PHT telah digalakan, namun masih banyak petani yang menggunakan pestisida secara tidak bijaksana. Di beberapa daerah, sebagian petani tanaman pangan dan sayuran masih menggunakan insektisida yang sudah dilarang[2].
Teknologi penanganan dampak negatif residu pestisida beraneka ragam, mulai dari insinerasi, pemadatan sampai ke penyimpanan (containment) dan bioremediasi. Teknologi penanggulangan residu pestisida di lingkungan lahan pertanian yang memanfaatkan limbah pertanian/perkebunan sebagai bahan dasar sampai saat ini masih sangat sedikit. Limbah pertanian/perkebunan seperti tempurung kelapa, sekam padi, bonggol jagung, tandan kosong kelapa sawit dll merupakan suatu biomassa yang dapat dirubah menjadi materi yang bernilai ekonomis lebih tinggi dan lebih bermanfaat daripada dibakar. Salah satu pemanfaatan biomassa tersebut adalah sebagai bahan dasar produksi arang aktif[3].
Pemanfaatan biomassa limbah pertanian/perkebunan untuk produksi arang aktif memiliki dampak positif sebagai pengurangan limbah pertanian/perkebunan untuk mendukung pembanguan pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Bahan baku arang aktif yang banyak dijumpai dan mudah didapat di pasar tradisional adalah tempurung kelapa. Tempurung kelapa biasanya dibuang begitu saja dan sebagian lagi digunakan untuk arang pembakar. Bahan baku lainnya yang potensial adalah sekam padi. Kandungan selulosa dan hemiselulosa yang mencapai 40% membuat sekam padi berpotensi menjadi bahan baku arang aktif. Di Indonesia, sekam padi umumnya digunakan untuk alas kandang peternakan ayam.
Limbah pertanian (batok tempurung kelapa, tongkol jagung, sekam padi dan tandan kosong kelapa sawit) banyak tersedia dan belum termanfaatkan secara maksimal. Pemanfaatan limbah pertanian sebagai bahan baku pembuatan arang aktif untuk pengendalian residu pestisida di lahan pertanian dapat mengangkat nilai kearifan lokal dan sumber daya alam yang belum terolah secara optimal. Hal tersebut tidak hanya mempertimbangkan nilai fungsional, namun juga nilai estetika
Arang aktif yang berasal dari limbah pertanian, memiliki prospek untuk mengendalikan residu pestisida di tanah/lahan pertanian karena memiliki karakteristik dapat menyerap residu tersebut di dalam tanah. Residu tersebut selanjutnya akan mudah didegradasi menjadi metabolit oleh mikroba pendegradasi yang tinggal di dalam pori-pori arang aktif. Bakteri lebih menyukai pori-pori arang aktif yang digunakan sebagai tempat tinggal karena terdapat sumber nutrisi yang berasal dari residu pestisida.
Bentuk pemanfaatan arang aktif dalam pengendalian residu pestisida di lahan pertanian dapat melalui aplikasi langsung di tanah (ditaburkan), melalui alat FIO (filter inlet outlet) dan melalui pelapisan pupuk urea. Permasalahannya adalah kegunaan arang aktif untuk pengendalian residu pestisida ini belum banyak dikenal dan belum dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat petani. Untuk itu perlu sosialisasi dan dukungan regulasi dari pemerintah terkait pemanfaatan arang aktif ini. Selain itu, produsen atau industri arang aktif masih sedikit atau bisa dihitung jari.
Referensi:
[1] Ichwan A, Ardiwinata AN, Poniman, Wahyuni S, Indratin, Kurnia A. 2007. Dampak Negatif Residu Bahan Agrokimia di Sentra Produksi Sayuran di Jawa. Laporan Akhir Penelitian. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. BBSDLP. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta (Lihat)
[2] Soejitno, J., dan A.N. Ardiwinata. 1999. Residu pestisida pada agroekosistem tanaman pangan. Hal. 72-90 dalam Risalah Seminar Menuju Produksi Padi Berwawasan Lingkungan. Bogor, 24 April 1999 (Lihat)
[3] Wisjnuprapto. 1996. Bioremediasi, Manfaat dan Pengembangannya. Prosiding Pelatihan dan Lokakarya Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan, Cibinong, 24-28 Juni 1996. Hlm. 180-191 (Lihat)