Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang memiliki salah satu garis pantai terpanjang di dunia. Dengan garis pantai yang panjang memungkinkan Indonesia untuk memanfaatkan dan memproduksi berbagai macam biota laut yang ada. Salah satunya adalah kepiting, kepiting merupakan salah satu biota unggulan perikanan selain udang vanamei, ikan hias, ikan arwana dan ikan kerapu. Terdapat berbagai macam jenis kepiting yang dapat ditemukan di dunia. Namun, di Indonesia hanya ditemukan empat spesies kepiting yaitu kepiting bakau merah (Scylla olivacea), kepiting bakau hijau (Scylla serrata), kepiting bakau ungu (Scylla traquebarica) dan kepiting bakau putih (Scylla paramamosain).
Kepiting merupakan salah satu jenis hewan invertebrata yang mengandung berbagai senyawa dan nutrsi yang dapat dimanfaatkan. Diantaranya protein, kitin, kitosan, lemak dan unsur-unsur mineral lainnya. Unsur-unsur kalisum dan magnesium merupakan penyusun utama dalam pembentukan otot cangkang kepiting yang keras dan lunak. Sementara cangkang kepiting mengandung senyawa kitin yang dapat dimanfaatkan oleh industri farmasi dan kosmetik. Menurut Muzarelli dalam Taufan dan Zulfahni (2010) bahwa kandungan kitin pada cangkang kepiting berkisar 71,4 %[1].
Sehingga dengan ketersediaan sumber daya yang luas memungkinkan biota kepiting dapat dimanfaatkan kandungan kitosannya sehingga mendatangkan kebermanfaatan bagi kehidupan. Kitosan merupakan polimer alami yang mempunyai karakteristik yang baik seperti dapat terbiodegradasi, tak beracun, dapat mengabsorpsi dan lain-lain[2]. Namun, untuk saat ini limbah kitosan belum dimanfaatkan secara luas disebabkan oleh masih sedikitnya pabrik pengolahan kitosan dan sumber referensi ilmiah yang ada.
Kitin merupakan komponen yang berfungsi sebagai pelindung dan penyokong tubuh pada jenis krustacea dan insecta. Senyawa kitin merupakan suatu polimer golongan polisakarida yang tersusun atas satuan beta-(1'!4)2-asetamindo-2-deoksi D-glukosa atau poli-(/-1,4- N asetilglukosamin). Sementara kitosan merupakan senyawa turunan dari kitin melalui proses dengan cara direaksikan dengan menggunakan alkali dengan konsentrasi tinggi dengan waktu yang relatif tinggi dan suhu yang lama[3].
Kitosan juga memiliki kemampuan untuk mengahambat berbagai mikroba patogen penyebab penyakit seperti Salmonella enterica, S. enterica var, Parathypi-A dan Parthypi-B. Oleh karena itu cangkang kepiting dicoba untuk dimanfaatkan sebagi bahan baku pembuatan hand sanitizier. Hand sanitizier merupakan alat pembersih tangan antiseptik. Kandungan antiseptik ini berfungsi untuk membunuh kuman yang ada di tangan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sahabuddin et al (2017) bahwa hasil uji konsentrasi hambat tumbuh minimum antara hand sanitizier yang berbahan kitosan dengan yang ada di pasar menunujukan perbedaan hasil dimana produk yang berbahan kitosan menunujukan hasil yang lebih baik. Dimana hand sanitizier yang berasal dari bahan kitosan mampu menghambat pertumbuhan bakteri TPC, Esherichia coli, dan Coliform sebesar 7 - 9 mm. Sementara produk hand sanitizier yang ada di pasaran hanya mampu menghambat pertumbuhan bakteri sebesar 1 mm-5 mm[4].
Oleh karena itu, pemanfaatan hand sanitizier yang berbahan kitosan ini berpotensi dimanfaatkan di Indonesia mengingat musim pandemi covid-19 yang masih melanda dan gaya hidup bersih yang mulai populer di kalangan masyarakat.
Referensi:
Kusumawati, N. 2009. Pemanfaatan Limbah Kulit Udang Sebagai Bahan Baku Pembuatan Membran Ultrafiltrasi. Jurnal Inotek. 13(2) : 113-120 (Lihat)
Muzzarelli, R.A.A., Peter M.G. 1977. Chitosan Handbook. European Chitin Society. Ornum JU. 1992. Shrimp Waste Must It Be Wasted. Infofish. 6 : 48 51 (Lihat)
Sahabuddin, F., Sinarni., A.S. Iryani. 2017. Jurnal Prosiding seminar Nasional (Lihat)