Perkembangan Bioteknologi Reproduksi Pada Hewan

Reproduksi hewan merupakan komponen integral untuk mewujudkan produksi ternak berkelanjutan. Komponen ini harus diberikan perhatian dan strategi guna meningkatkan efisiensinya. Perhatian khusus terhadap reproduksi hewan dan intervensi teknologi serta strategi akan menghasilkan performa yang efisien yang dapat memberikan keuntungan dan keberlanjutan usaha peternakan[1]. Reproduksi juga merupakan tulang punggung dari produtivitas hewan. Reproduksi yang tidak efektif merupakan salah satu penyebab kerugian ekonomi dalam industri peternakan. Penemuan teknologi reproduksi dalam subsektor peternakan sangat bermanfaat untuk meningkatkan populasi, produksi, dan produktivitas ternak baik secara kualitas maupun kuantitas. Bioteknologi reproduksi digunakan secara rutin guna memperpendek interval generasi dan untuk menyebarkan materi genetik di antara populasi hewan yang berkembang biak. Bioteknologi reproduksi telah dikembangkan secara turun-temurun selama bertahun-tahun[2].

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memprediksikan bahwa populasi manusia akan meningkat menjadi 9.6 triliun yang berdampak pada permintaan produk pertanian dan produksi ternak yang intensif[3]. Kahl dan Rewe (2008) mengatakan bahwa bioteknologi sangat penting bagi dunia dalam menanggapi takanan untuk memproduksi pasokan pangan yang cukup saat populasi manusia semakin meningkat. Penggunaan bioteknologi reproduksi khususnya inseminasi buatan (IB) dan transfer embrio (ET) pada sapi telah secara luas diaplikasikan di banyak peternakan di negara berkembang. Sejak bioteknologi ditemukan untuk meningkatkan genetik dan produksi ternak,  bioteknologi telah menyebar secara cepat keseluruh dunia tidak terkecuali di Indonesia[4]. 

Ramli[5] mendefinisikan istilah bioteknologi pada hewan sebagai aplikasi ilmiah dan prinsip-prinsip rekayasa untuk memproses atau memproduksi bahan dari hewan atau spesies air guna menyediakan kebutuhan dan jasa yang berguna bagi kesejahteraan manusia. Bioteknologi reproduksi telah berkembang dalam banyak generasi selama bertahun-tahun. 

Berikut merupakan beberapa generasi bioteknologi reproduksi yang telah berkembang di Indonesia:

1. Inseminasi Buatan (IB)

Inseminasi buatan merupakan teknik transfer sperma yang ditampung dari pejantan dan secara manual (buatan) ditempatkan pada saluran reproduksi betina agar betina tersebut bunting. Inseminasi buatan merupakan teknologi reproduksi tertua dan termahir karena mudah untuk dilakukan, murah, dan mempunyai tingkat keberhasilan yang tinggi.

Inseminasi buatan mulai dikembangkan pada akhir abad ke-19. Perkembangan inseminasi buatan terbilang cukup lambat namun meningkat secara drastis mengikuti perkembangan pengencer sperma, pengurangan resiko penyakit menular dengan dimasukkanya antibiotik, dan yang paling signifikan sejak adanya perkembangan pembekuan yang efektif dan prosedur penyimpanan sperma beku di pertengahan abad ke-20. Inseminasi buatan saat ini digunakan pada banyak perusahaan breeding ternak, kebanyakan pada industri sapi perah dimana lebih dari 90% sapi perahnya diproduksi melalui inseminasi buatan[6].

Bioteknologi reproduksi lain yang juga sedang dikembangkan di Indonesia yaitu sexing sperm untuk inseminasi buatan. Teknologi ini digunakan untuk memproduksi keturunan  ternak sesuai dengan jenis kelamin yang diinginkan, baik jantan maupun betina. Sexing sperma merupakan bioteknologi yang mampu mengontrol rasio jenis kelamin ternak yang lahir. Sperma dengan kromosom X dan Y mempunya perbedaan kandungan DNA, motilitas, berat, dan spesifik gen yang terkandung di dalamnya. Terdapat beberapa metode pemisahan sperma yaitu sedimentasi, kolom albumin, gradien densitas percoll, kolom sepadeks, antigen HY, dan flowcytometry[7].

2. Transfer Embrio
Transfer embrio merupakan alat yang penting untuk meningkatkan populasi ternak secara lebih cepat sekaligus menyediakan peluang untuk memanfaatkan kontribusi genetik pada ternak jantan maupun betina. Transfer embrio pada mamalia yang pertama dilakukan oleh Walter Heape tahun 1980. Namun, terdapat pula literatur yang menyebutkan keberhasilan penggunaan bioteknologi reproduksi embrio transfer pada kelinci yang terjadi pada tahun 1891. Selain itu, pada tahun 1934 transfer embrio juga berhasil dilakukan pada domba.

Transfer embrio melibatkan superovulasi, sebuah langkah penting untuk meningkatkan jumlah oosit dari donor superior. Selain itu, transfer embrio juga melibatkan sinkronisasi birahi yang dilakukan pada betina resipien (penerima) embrio. Sinkronisasi ini dilakukan agar fase pertumbuhan embrio sama dengan fase yang ada pada rahim resipien, dengan hal itu maka embrio dapat berkembang menjadi fetus.

Namun, dibeberapa negara berkembang seperti Thailand, Laos, dan mungkin juga termasuk Indonesia, transfer embrio masih dalam tahap perkembangan dan belum diterapkan secara masiv dikalangan peternak maupun industri peternakan. Hal ini disebabkan karena kurangnya kesadaran di kalangan peternak, tidak tersedianya embrio, mahalnya embrio, tenaga teknis, bahkan kemungkinan keberhasilan dari transfer embrio tersebut yang masih rendah.

3. In Vitro Fertilisasi (IVF)
In vitro Fertilisasi (IVF) merupakan bioteknologi reproduksi dimana pembuahan dan perkembangan sel embrio dilakukan diluar tubuh atau tepatnya di laboratorium dalam medium kultur sel dengan teknologi tertentu yang menyerupai fertilisasi alamiah yang sebenarnya[8]. Sebelum dilakukan IVF terlebih dahulu dilakukan pengambilan ovum (ovum pick up) dari dalam organ reproduksi ternak betina. Ovum yang telah berhasil di identifikasi akan di lakukan pematangan (In vitro maturation) pada suatu medium khusus untuk selanjurnya dilakukan fertilisasi (pembuahan) dengan spermatozoa. Setelah dilakukan pembuahan, gabungan sel telur dan sel sperma tersebut akan berkembang menjadi embrio dan pada tahapan perkembangan tertentu dapat di masukkan ke dalam organ reproduksi betina kembali melalui transfer embrio.

Keberhasilan produksi embrio secara IVF pertama kali pada sapi dilaporkan di Jepang, kemudian pada tahun 1981 lahir anak sapi pertama yang berasal dari oosit yang diovulasikan dan difertilisasi secara in vitro di Amerika. Keberhasilan teknik IVF juga berikutnya dilaporkan oleh beberapa peneliti yang dilakukan pada kelinci. Potensi produksi embrio ternak hasil IVF ini sangat besar. Aplikasi program peningkatan kualitas genetik menggunakan embrio hasil IVF akan mampu memproduksi ternak unggul dalam jumlah yang relatif sangat besar sehingga akan bermanfaat dalam percepatan kemajuan genetik yang kebih besar dibandingkan breeding konvensional.

4. Kloning Hewan
Kelahiran anak domba "Dolly" di Skotlandia pada bulan Juli 1996 membuka kemungkinan dunia baru bagi peternak. Dolly yang dilahirkan merupakan fakta bahwa dia adalah mamalia kloning pertama yang diturunkan dari sel dewasa yang berdiferensiasi penuh. Fakta tersebut menantang paradigma bahwa gen yang tidak diperlukan dalam pengembangan jaringan tertentu hilang atau dinonaktifkan secara permanen. Kloning pada mamalia menjadi mungkin ketika peralatan laboratorium tersedia pada akhir tahun 1960 dan awal 1970an yang memngkinkan manipulasi mikro pada telur mamalia yang lebih kecil. Kloning mamalia pertama yang dilaporkan dilakukan oleh Illmensee dan Hoppe pada tahun 1981 dimana telah melahirkan tiga anak tikus kloning. Namun hasil tersebut tidak bisa diulang. Peneliti yang sama juga menemukan tidak ada perkembangan ketika inti sel dari sel donor dari tahap perkembangan selanjutnya digunakan.

Kemungkinan kloning hewan melalui sel somatik digembar-gemborkan pada tahun 1996/1997 melalui publikasi dua makalah penting di Roslin Institut, Edinburg, Skotlandia. Selanjutnya, kelahiran domba Dolly memicu debat etis yang memanas di seluruh dunia dan memicu serangkaian cerita fiksi. Awalnya, asal-usul Dolly dari sel donor yang berdiferensiasi penuh dipertanyakan oleh banyak ilmuan. Namun, dalam 5 - 10 tahun kedepan, validias klaim tersebut terbukti dan kelayakan kloning sel somatik sepenuhnya terwujud dan ditetapkan sebagai alat penting dalam penelitian.

Referensi:

[1] Hufana, D., and Duran, PG. 2020. Animal Reproduction Strategies for Sustainable Livestock Production in The Tropics. 2nd International Conference of Animal Science and Technology 492 (Lihat)

[2] Fasseha, H. 2020. Reproductive Biotechnology Options for Improving Livestock Production: A Review. Adv Food Tech Nutr Sci Open J. 6(1) (Lihat)

[3] United Nation. 2013. World Population Projected to Reach 9.6 Billion by 2050 (United Nations Department of Economic and Social Affairs) (Lihat)

[4] Nigatu, Y. 2018. Current Status of Animal Biotechnology and Option for Improvement of Animal Reproduction in Asia. International Journal of Livestock Production 9(10) (Lihat)

[5] Ramli-Bin, A., Wan, K., Wan, E., and Hui, HS. 2011. Biotechnology in AnimalProduction in Developing Countries. 2nd International Conference on Agricultural and Animal Science Vol. 22. IACSIT Press: Singapore

[6] Nieman, H., and Seamark, B. 2018. The Evolution of Farm Animal Biotechnology. Springer International Publishing, Nature (Lihat)

[7] Maulana, T., Said, S., Arifiantini, RI., and Setiadi, MA. 2019. Sex Sorting Sperm of Sumba Ongole Bulls by Using Snakehead Fish (Channa striata) Albumin Extract. Journal of the Indonesian Tropical Animal Agriculture 44(1): 106 - 113 (Lihat)

[8] Ciptadi, G. 2012. Bioteknologi Sel Gamet dan Kloning Hewan.UB Press: Malang