Petani dan Perekonomiannya

Sumber : liputanjatim.com

Jika seorang anak diberikan pertanyaan mengenai cita-citanya, kira-kira apa jawabannya? Kebanyakan anak akan menjawab menjadi dokter, pengacara, polisi, atau pekerjaan lainnya. Jarang ada yang menjawab cita-citanya sebagai petani.

Kira-kira, mengapa demikian?

Ternyata seringkali penghasilan petani dianggap kurang dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Faktanya, pada bulan Juli 2020 Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa upah nominal buruh tani adalah Rp55.613 per hari, sedangkan upah riil buruh tani adalah Rp52.549 per hari[1]. Hal tersebut membuktikan bahwa rata-rata buruh tani yang berkeluarga masih terjebak di bawah garis kemiskinan. Padahal, petani dianggap sebagai pelaku ekonomi yang dapat menyelamatkan Indonesia dari krisis ekonomi 1997-1999.

Pasalnya, sistem ekonomi yang terjadi tidak relevan dengan yang ada di lapangan. Sistem ekonomi yang dilakukan sekarang terlalu berkiblat ke arah barat. Sistem ekonomi tersebut diterapkan tanpa memperhatikan perbedaan sistem dan nilai budaya[2]. Seharusnya, sistem ekonomi yang diterapkan disesuaikan dengan kondisi dan budaya masyarakat setempat. Sementara itu, tekanan ekonomi kapitalis yang megutamakan efisiensi makin kuat ke pedesaan. Tekanan tersebut menghilangkan peluang dan kesempatan bertani serta melonggarkan norma dan nilai sosial yang terjalin di pedesaan[3]. Selain itu dengan sistem ekonomi ini, masyarakat desa menjadi semakin bergantung pada kekuatan di luar desa yang menjadikan masyarakat petani tidak mandiri. Sistem ekonomi di Indonesia yang masih tunduk pada hukum-hukum global-neoliberal cenderung mendukung kegiatan usaha non-pertanian seperti pertambangan, transportasi, perumahan, dan industri pabrik.

Sistem ekonomi di Indonesia sudah sepatutnya berlandaskan budaya bangsa Indonesia. Gagasan dan pandangan hidup asli masyarakat Indonesia amat krusial untuk menjalankan perekonomian. Gotong royong sebagai pandangan hidup masyarakat Indonesia telah menjadi budaya yang mengakar di masyarakat. Gaya hidup yang berlangsung dimasyarakat juga mengandung unsur kekeluargaan yang mementingkan kebersamaan.

Perekonomian berdasar asas kekeluargaan telah dikemukakan secara jelas dalam Pasal 33 UUD 1945[3]. Pasal tersebut secara tegas menyatakan perekonomian nasional diselenggarakan atas dasar demokrasi ekonomi. Maka, sistem ekonomi yang paling sesuai dengan pasal tersebut adalah ekonomi kerakyatan.

Ekonomi kerakyatan merupakan percobaan perumusan dasar ekonomi serta cita-cita pembangunan masyarakat adil dan makmur[4]. Ekonomi kerakyatan ini sudah ada dan dilaksanakan oleh sebagian masyarakat dalam bentuk usaha bersama berdasar atas dasar kekeluargaan. Sistem ekonomi kerakyatan mendorong petani dan masyarakat ikut serta sebagai pemilik modal dan pengendali roda perekonomian. Ekonomi kerakyatan tidak hanya memiliki tujuan efisiensi, namun juga keadilan. Kejadian krisis ekonomi 1997-1999 membuktikan bahwa sektor pertanian dapat berperan sebagai penggerak pertumbuhan nasional melalui pengembangan ekonomi kerakyatan. Dikala sektor lain mengalami pertumbuhan negatif, pertumbuhan sektor pertanian saat itu masih positif.

Namun tidak dapat dipungkiri, sistem ekonomi yang terlanjur mengarah pada ekonomi neoklasik tidak dapat langsung berubah dalam satu malam. Kesadaran pemerintah untuk mengetahui pentingnya pembangunan ekonomi yang menguntungkan seluruh rakyat dibutuhkan untuk mengimplementasikan ekonomi kerakyatan di Indonesia. Negara agraris seperti Indonesia yang memiliki potensi sumber daya alam luar biasa diharapkan dapat menjadikan pertanian sebagai basis pertumbuhan ekonomi di masa depan.

Referensi :

[1] Badan Pusat Statistik. 2020. Upah Nominal Harian Buruh Tani Nasional Juli 2020 Naik Sebesar 0,20 Persen. Diambil dari Badan Pusat Statistik Edisi 18 Agustus 2020 (Lihat)

[2] Jokow. 2020. Ekonomi Kerakyatan, Pancasila. Diambil dari Universitas Gadjah Mada: Direktorat Pengabdian Masyarakat Edisi 18 Mei 2020 (Lihat)

[3] Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Lihat)

[4] Elizabeth, R. 2007. Fenomena Sosiologis Metamorphosis Petani: ke Arah Keberpihakan pada Masyarakat Petani di Pedesaan yang Terpinggirkan Terkait Konsep Ekonomi Kerakyatan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 29-42 (Lihat)