Reforma Agraria Solusi Konflik Agraria

Petani sebagai pelaku usaha pertanian memiliki peran yang amat krusial bagi ketahanan pangan nasional dan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat Indonesia. Pertanian dalam arti luas juga mencakup kegiatan perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan, karena kegiatan-kegiatan tersebut melibatkan pemanfaatan makhluk hidup untuk kepentingan manusia. Artinya, petani merupakan masyarakat yang mempunyai pekerjaan terkait kegiatan tersebut. Definisi petani di Indonesia juga diatur dalam undang-undang. Menurut UU Nomor 19 tahun 2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani, petani adalah warga negara Indonesia perseorangan dan/atau beserta keluarganya yang melakukan usaha tani di bidang tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan[1].

Konflik Agraria

Konflik agraria adalah salah satu masalah dalam kegiatan pertanian yang sulit diselesaikan bagi para petani, khususnya petani kecil yang tidak termasuk ke dalam korporasi. Konflik agraria merupakan permasalahan yang menyangkut ruang hidup petani, termasuk lahan pemukiman, kebun, maupun lahan tani. Petani tidak jarang berkonflik dengan pebisnis skala besar, termasuk dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan Perum Perhutani. Seringkali lahan mereka dialih fungsi menjadi lahan real estate, pembangunan infrastruktur, lahan tambang, ataupun perkebunan skala besar seperti korporasi kebun kelapa sawit. Apalagi, saat ini pemerintah sedang gencar-gencarnya mencanangkan program food estate yang akan membutuhkan banyak lahan. Jika program tersebut berjalan tanpa memikirkan petani kecil, kesejahteraan petani akan raib dan tidak ada lagi lahan bagi petani untuk bercocok tanam.

Konflik agraria yang sudah ada sejak zaman penjajahan dan pasti ada setiap tahunnya seakan menjadi masalah abadi di Indonesia. Dikutip dari Mongabay, data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan bahwa ada 90.000 keluarga berkonflik dengan BUMN di Pulau Jawa. Para petani itu tersebar di 137 desa dan 40 kabupaten dengan 288.000 hektar lahan konflik[2]. Data tersebut baru mencakup Pulau Jawa dan konflik dengan BUMN saja. Tidak bisa dibayangkan berapa banyak petani Indonesia di berbagai penjuru negri dengan BUMN dan pihak swasta. Misalnya, kasus kriminalisasi dan perampasan hutan adat di Kinipan, Kalimantan Tengah. Kasus tersebut merupakan konflik antara Komunitas Laman Klinipan dengan PT Sawit Mandiri Lestari (SML). PT SML hendak mengonversi hutan adat warga menjadi lahan sawit, sehingga menuai banyak protes[3]. Salah satu pemicu konflik agraria adalah tumpang tindihnya kepemilikan lahan.

"Dari hasil identifikasi sinkronisasi masalah tumpang-tindih peta tematik terdapat sekitar 77,3 juta hektare atau 40,6 persen dari luas wilayah Indonesia yang masih tumpang tindih [kepemilikan lahan]. Ini menjadi PR [pekerjaan rumah] kita," jelas Presiden Jokowi saat memimpin rapat terbatas di kompleks Istana Negara pada Februari lalu[4].

Reforma Agraria di Indonesia

Solusi dari konflik agraria yang berkepanjangan adalah reforma agraria. Reforma agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan aset dan disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia[5]. Tujuan reforma agraria adalah mengubah struktur masyarakat menjadi susunan yang lebih adil dan merata, serta membuat rakyat memiliki aset produksi sehingga lebih produktif dan pengangguran dapat diperkecil. Reforma agraria diatur dalam Peraturan Presiden (PERPRES) Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2018. Selain itu, TAP MPR No. IX/2001 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) atau Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria juga merupakan landasan hukum yang mendukung reforma agraria.

Sebelum adanya istilah reforma agraria, pembaruan agraria dikenal dengan “land reform” sampai dekade 1960-an. Land reform memiliki prinsip “tanah untuk penggarap”. Dalam pemerintahan Presiden Soekarno, land reform ini pernah diusahakan, namun kemudian dihentikan pada masa pemerintahan orde baru[6]. Pemerintahan Presiden Soekarno sejak kemerdekaan mulai mengupayakan untuk melakukan reforma agraria dengan cara merumuskan undang-undang agraria baru untuk mengganti UU Agraria Kolonial tahun 1870. Akhirnya, UUPA lahir pada tanggal 24 September 1960 yang saat ini diperingati setiap tahun sebagai Hari Tani Nasional. UUPA dinilai dapat mewujudkan cita-cita perjuangan kemerdekaan Indonesia mengubah struktur masyarakat warisan stelsel, feodalisme, dan kolonialisme, menjadi susunan masyarakat yang lebih merata, demokratis, adil, dan sejahtera. Inti dari gerakan "land reform" adalah redistribusi lahan yang merata untuk masyarakat Indonesia.

Namun dalam implementasinya, UUPA belum dilaksanakan secara optimal. Hal tersebut tercermin dengan tingkat konflik agraria yang masih tinggi setiap tahunnya. Belum lagi, adanya pengesahan UU Cipta Kerja yang dinilai merugikan masyarakat adat. Gerakan redistribusi lahan juga masih jalan di tempat. Tidak sedikit petani yang menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam menyuarakan kekecewaan mereka atas alih fungsi lahan yang dilakukan pihak swasta maupun BUMN. Pemerintah harus serius menangani reforma agraria untuk kesejahteraan rakyat. Makin lama profesi petani akan berkurang bukan karena pemuda tidak mau menjadi petani, tapi karena lahan pertanian yang telah habis.

Referensi

[1] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013 (Lihat

[2] Hariandja, Richaldo. 2020. Konflik Agraria Petani vs BUMN Terus Terjadi. Diambil dari Mongabay Edisi 1 September 2020 (Lihat

[3] Syambudi, Irwan. 2020. Perampasan Lahan dan Kriminalisasi Warga Adat di Klinipan Kalteng. Diambil dari Tirto.id Edisi 28 Agustus 2020 (Lihat

[4] Taher, Andrian Pratama. 2020. Jokowi Sebut 77,3 Juta Hektare Lahan RI Tumpang Tindih Kepemilikan. Diambil dari Tirto.id Edisi 6 Februari 2020 (Lihat

[5] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2018 (Lihat)

[6] Wiradi, Gunawan. 2016. Reforma Agraria Untuk Pemula. Publikasi Jurnal Konsorsium Pembaruan Agraria, Materi 6 (Lihat)