(Sumber: Global Green Growth Institute) |
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas andalan Indonesia pada sektor perkebunan yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi. Kelapa sawit merupakan salah satu pengumbang devisa negara terbesar selain sektor minyak dan gas. Pada tahun 2018, kelapa sawit menyumbang devisa negara sebesar US $ 20,54 milliar atau jika dirupiahkan setara dengan 289 trilliun[1]. Pada umumnya minyak kelapa sawit digunakan sebagai minyak sayur, bahan pembuat makanan, bahan kosmetik, bahan bakar nabati, dan dapat digunakan pada industri-industri lainnya. Permintaan dan tingkat konsumsi minyak sawit yang meningkat menjadikan industri sawit terus berkembang pesat setiap tahunnya. Area perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus mengalami pertumbuhan sekitar 5,5% setiap tahunnya dari tahun 2010 hingga tahun 2016. Sementara untuk produksi kelapa sawit rata-rata meningkat sebesar 14,03% pertahunnya. Pada tahun 2016 luas perkebunan kelapa sawit yang tercatat di Indonesia berkisar 11 juta hektar.
Ekspansi kelapa sawit tersebut menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Ekspansi besar-besaran kelapa sawit memberikan dampak negatif bagi lingkungan terutama bagi kelestarian hutan dan lingkungan sekitar. Deforestasi hutan serta perubahan iklim adalah harga mahal yang harus dibayar dari pesatnya pertumbuhan industri sawit di Indonesia. Tidak hanya Sumatera dan Kalimantan, bahkan saat ini, ekspansi kelapa sawit sudah mencapai Papua dan mengancam hutan adat setempat. Ekspansi kelapa sawit tidak dipungkiri telah memberikan banyak konflik antara perusahaan atau negara dengan masyarakat setempat. Konflik tersebut pada umumnya disebabkan alih fungsi lahan secara paksa dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh industri kelapa sawit.
Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman yang memerlukan kebutuhan air cukup besar. Perkebunan kelapa sawit dengan skala besar dapat menyebabkan terganggunya persediaan air tanah bagi tanaman lain diluar perkebunan kelapa sawit. Limbah dalam dalam pengolahan kelapa sawit juga memberikan dampak buruk bagi sungai di sekitarnya. Masyarakat di Desa Penyabungan, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi merasakan dampak dari limbah cair yang berasal dari industri sawit. Sungai yang berada di Desa Penyabungan mengalami pencemaran dari beberapa bahan kimia beracun dan berbahaya yang menyebabkan terganggunya ekosistem sungai bahkan menyebabkan gangguan kesehatan bagi masyarakat setempat yang masih memanfaatkan air sungai tersebut[2]. Kebakaran hutan dibeberapa wilayah adalah dampak lain dari ekspansi kelapa sawit. Kebakaran hutan tersebut disebabkan praktik pembukaan lahan untuk area perkebunan kelapa sawit. Membakar lahan merupakan cara yang paling mudah dan murah dalam melakukan pembukaan lahan kelapa sawit sehingga sering digunakan oleh beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab
Berdasarkan hal tersebut, pihak Uni Eropa mengeluarkan resolusi mengenai minyak kelapa sawit terkait deforestasi dan kerusakan hutan yang melarang impor kelapa sawit serta beberapa produk turunannya. Pihak Uni Eropa beropini bahwa kelapa sawit sangat berkaitan dalam hal deforestasi hutan dan perusakan lingkungan. Namun pernyataan tersebut menimbulkan beberapa polemik. Beberapa pihak menyebutkan bahwa sikap Uni Eropa tersebut sebagai bentuk diskriminasi terhadap kelapa sawit yang memiliki potensi cukup besar dan dapat mengancam komoditas penghasil minyak nabati di Eropa.
Minyak nabati di dunia pada umumnya dihasilkan oleh tanaman kelapa sawit, kedelai, biji bunga matahari, dan kanola. Kedelai, biji bunga matahari, dan kanola merupakan penghasil minyak nabati yang dibudidayakan di negara-negara eropa. Pada tahun 2016 dari 200 juta hektar area perkebunan di dunia sekitar 61% area tersebut merupakan kebun kedelai dan hanya 10% yang berupa area perkebunan kelapa sawit[3]. Selain itu produktivitas kelapa sawit jauh lebih tinggi dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Menurut Oil World Statistic tahun 2008, kelapa sawit mempunyai produktivitas sebesar 4 ton/ha/tahun. Sementara kanola hanya mempunyai produktivitas 0,67 ton/ha/tahun, tanaman bunga matahari sebesar 0,52 ton/ha/tahun, dan tanaman kedelai sebesar 0,45 ton/ha/tahun. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa tanaman kelapa sawit memiliki keunggulan dibanding beberapa tanaman penghasil minyak nabati lainnya.
Diluar tudingan Uni Eropa terhadap minyak sawit tersebut, secara umum tanaman kelapa sawit merupakan tanaman yang memiliki potensi cukup besar bagi Indonesia. Terbukti bahwa kelapa sawit memiliki produktivitas yang lebih tinggi dibandinglan tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Minyak nabati merupakan salah satu kebutuhan dunia, selain dimanfaatkan menjadi minyak sayur, bahan makanan, dan kosmetik, minyak nabati dapat digunakan sebagai alternatif bahan bakar selain bahan bakar berbahan fosil yang kian menepis. Bahkan minyak nabati diproyeksikan untuk menjadi campuran bahan bakar pesawat. Pemerintah berupaya membela diri dari tudingan negatif uni eropa mengenai sawit dengan dalih melestarikan komoditas unggulan Indonesia yang berpotensi menghasilkan keuntungan serta pendapatan masyarakat lokal. Namun sayangnya lebih dari 50% perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih dikuasai oleh pihak asing dan hanya sekitar 40% yang merupakan perkebunan rakyat.
Langkah pemerintah dalam meningkatkan produksi minyak sawit merupakan sebuah langkah yang tepat mengingat kelapa sawit memiliki produktivitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Namun sebaiknya pemerintah lebih mengawasi dalam ekspansi besar-besaran kelapa sawit. Hutan adat selayaknya tidak dirusak hanya untuk perkebunan kelapa sawit yang terlebih bukan milik rakyat ataupun negara. Jika pemerintah berdalih untuk melestarikan serta mengembangkan komoditas unggulan Indonesia untuk meningkatkan pendapatan negara dan masyarakat lokal melalui kelapa sawit, seharusnya pemerintah lebih pro kepada rakyat bukan kepada beberapa perusahaan asing yang hingga saat ini masih memperluas jaringan sawit mereka di Indonesia dengan membabat hutan-hutan di Sumatera, Kalimantan, bahkan yang terbaru hutan adat di Papua sudah mulai tersentuh.
Potensi kelapa sawit yang cukup besar sudah selayaknya dimanfaatkan secara tepat untuk kepentingan masyarakat lokal dan negara dengan tetap memperhatikan terkait kelestarian lingkungan. Contohnya adalah melalui pengawasan lebih ketat dalam ekspansi kelapa sawit dan terkait perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan atau yang bersertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) sehingga dapat meminimalisir terjadinya kerusakan alam serta dapat meminimalisir juga konflik antara masyarakat setempat dengan negara atau perusahaan.
Referensi :
[1] Rahayu, S.W., dan Sugianto, F. 2020. Implikasi Kebijakan dan Diskriminasi Pelarangan Ekspor dan Impor Minyak Kelapa Sawit dan Bijih Nikel Terhadap Perekonomian Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum 16(2): 224-236. (Lihat)
[2] Utami, R., Putri, E.I.K., dan Ekayani, M. 2017. Dampak Ekonomi dan Lingkungan Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit (Studi kasus: Desa Penyabungan, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jebung Barat, Jambi). Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 22(2): 115-126 (Lihat)
[3] Suwarno, W. 2019. Kebijakan Sawit Uni Eropa dan Tantangan Bagi Diplomasi Ekonomi Indonesia. Jurnal Hubungan Internasional 8(1): 23-34. (Lihat)